Satu minggu terakhir Gunung Semeru menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat dan dunia maya. Semeru telah bangun, ia memuntahkan lahar dan menghembuskan awan panas. Kebangunan itu membawa duka bagi ribuan warga Lumajang di kaki Gunung Semeru, mereka terhenyak dengan kebangunan itu. Sedangkan, puluhan orang hilang, meninggal dunia, luka-luka dan kehilangan harta benda.
Turut berduka, semoga para penyintas diberi kemudahan dan kekuatan.
-----
Pintu Utama Pendakoan Gunung Semeru/ dok. Pribadi |
Membicarakan Semeru memang tidak ada habisnya, mengingatkanku pada perjalanan dua tahun yang lalu. Perjalanan itu menjadi sejarah pertamaku mejelajah gunung dan mungkin yang terakhir hehe...
Pendakian itu dimulai pada akhir Agustus 2019. Aku bersama seorang temanku, ia pendaki perempuan yang sudah berpengalaman. Karena aku tak memiliki pengalaman mendaki, ia memberi saran untuk melakukan latihan fisik satu bulan sebelum hari H pendakian.
Persiapan fisik sudah aku lakukan selama satu bulan. Selain itu, logistik dan alat pendakian sudah kami siapkan.
Kami berangkat dari Surabaya sekitar pukul 01.00 WIB. Dimulai dari Terminal Purabaya menempuh perjalanan sejalam 3 jam hingga sampai di Terminal Arjosari, Kabupaten Malang sekitar pukul 04.00 WIB.
Sesampai di terminal, kami merehatkan tubuh sekejap sembari menunggu azan salat subuh. Kami juga bertemu dengan dua orang pemuda dari Purwokerto, Jawa Tengah yang hendak mendaki Semeru.
Sekitar pukul 04.30 WIB, kami berempat menuju Pasar Tumpang menaiki angkot berwarna putih. Perjalanan itu cukup jauh, kurang lebih memangkan waktu satu jam.
Ranu Pane
Lanjut, kami menaiki jeep bersama sejumlah pendaki lainnya di Pasar Tumpang untuk menuju pos administrasi pendakian di Ranu Pane. Pendakian di mulai di siang hari. Kami berdua berpisah dengan dua pemuda asal Purwokerto lantaran mereka berencana melakukan pendakian pertama esok harinya.
Sementara, kami berdua melakukan pendakian berbarengan dengan rombongan pendaki asal Bojonegoro.
Perjalan dari Ranu Pane menuju Ranu Kumolo cukup berat bagiku. Sebab, banyak jalan menanjak, berkelok dan berdebu.
Tak terbiasa mendaki, nafasku tersengal-sengal dan kakiku terasa sangat sakit sekali. Sehingga, aku harus banyak beristirahat di tengan perjalanan. Sementara, sebagian besar rombongan kami berjalan cukup cepat. Tentu, bukan hal yang menyenangkan.
"Untung aku olahraga, kalau tidak sama sekali tentu akan beda nasibnya," batinku.
Namun, hal itu tak menyurutkan semangat, sebab puzzle gunung berjajar dengan lembah yang dipayungi langit dan awan nampak lukisan menakjubkan yang tak bisa diuriakan menjadi kepingan kata-kata. Sementara, vegetasi tumbuhan yang beragam, ditambah suguhan penampilan Lutung di pepohonan menjadi daya tarik yang tetap menjaga nafas kegigihanku.
Selain itu, pada beberapa pos pendakian ada warung yang menjajakan makanan dan minuman. Salah satunya buah semangka, sungguh rasanya segar sekali. Berbeda dengan buah semangka lainnya. Sugesti lagi capek kali ya ^^
Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo/ dok. Yuana Fatwalloh |
Kami sampai di Ranu Kumbolo diujung sore hari. Sebelum sampai di perkemahan Ranu Kumbolo, kami mengambil air di danau untuk berwudhu dan mendirikan salat.
Fyi, para pendaki dilarang berenang ataupun mandi di Ranu Kumbolo. Sehingga, dalam kehati-hatian kami mengambil air dengan botol dan berwudhu jauh dari lokasi danau. Sehingga, dimungkinakan air bekas wudhu tidak kembali mengalir langsung ke danau.
Sesampai di perkemahan Ranu Kumbolo, pendaki rombongan asal Bojonegoro melanjutkan perjalanan hingga pos pedakian akhir di Kalimati.
Sementara itu, lantara kakiku semakin sakit dan sulit melanjutkan perjalanan, kami berdua memutuskan untuk bermalam di Ranu Kumbolo dengan mendirikan tenda.
Sinar matahari makin tenggelam, angin di bibir danau cukup kencang membuat kami kesulitan mendirikan tenda.
"Sini mbak saya bantu," kata seorang pemuda di samping tenda.
Ternyata, ia adalah salah satu dari rombongan pendaki asal Blora-Kendal. Tenda sudah berdiri, kami saling bercengkrama degan rombongan itu. Bertukar makanan dan menawarkan bantuan ini-itu.
Saat kakiku masih terasa sakit, aku pun sukar untuk tidur. Untungnya, salah seorang teman dari rombogan Blora-Kendal memberiku obat saleb Conterpain. Wah! ternyata efeknya luar baisa. Enggak sponsor guys...
Rasa sakit pada kakiku berkurang drastis. Bahkan harapanku yang telah pupus untuk ke puncak pun tumbuh kembali.
"Udah mbak Fi, tinggal aja aku di (perkemahan) Ranu Kumbolo, aku nunggu sini aja," ujarku di tenda saat putus asa tak kuat melanjutkan pendakian lagi. -Bukan tanpa sebab, aku merasa aman di Ranu Kumbolo yang ramai pendaki dan sadar diri sebagai pendaki pemula tak berharap banyak bisa sampai puncak. Tapi ini tidak boleh ditiru T_T -
Tentun, ia tak akan sepakat dengan pendapatku. Meskipun keinginannya ke puncak Mahameru membuncah, Mbak Fia takkan meninggalkan aku seorang diri.
Fyi lagi ya gaess, saat dipendakian memang pantang meninggalkan teman yang sedang sakit atau kelelahan seorang diri. Apalagi belum berpengalaman. Harus tahu betul kondisi temannya. Terlebih, kita baerada di alam bebas dengan kondisi cuaca yang dapat berbah kapan pun. Sangat berbahaya! Sudah tahu kan? banyak kasus yang demikian berujung pada hilangnya pendaki bahkan kematian.
Matahari terbit dengan semburat cahaya indah, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama teman-teman pendaki dari Blora-Kendal hingga ke puncak.
Kami membongkar tenda dan mengemas perbekalan sekitar pukul 10.00 WIB. Perjalanan dilanjutkan dari Tanjakan Cinta. Tanjakan yang terletak dibelakang perkemahan Ranu Kumbolo.
Konon, jika memikirkan seseorang yang disukai saat menaiki tanjakan itu tanpa melihat ke arah belakang bakal terkabul untuk bisa bersamanya. Mitosnya ya guys... ^^
Oro-Oro Ombo
Lanjut, turun dari bukit Tanjakan Cinta disambut ilalang-ilalang Oro-Oro Ombo. Kawasan lembah padang rumput yang dipagari terbing perbukitan. Menyebrangi padang rumput cukup menyenangkan, bak syuting bernyanyi dan bergojet ria di antara ilalang seperti film-film India.
Pemandangan ini akan nampak lebih menakjubkan saat musim hujan. Sayangnya, pendakian ini terjadi pada musim kemarau.
Kalimati
Pendakian Semeru di Jambangan/ dok. Yuana Fatwalloh |
Setelah dari Oro-Oro Ombo, kami istirahat sejenak di Cemoro Kandang. Kawasan ini dipenuhi dengan cemara dan paku-pakuan. Medan jalan memang tidak naik-turun bukit, namun cukup berdebu, kering dan panjang. Tentu, jangan lupa kalau capek istirahat ya... jangan maksa, pelan-pelan yang penting sampai tujuan.
Di lokasi ini kami juga bertemu dengan dua teman pendaki yang berasal Purwokerto.
Kami sampai di pos Jambangan, di kawasan ini kita bisa melihat puncak Mahameru secara jelas. Nampak lipatan-lipatan aliran lahar di ujung bibir puncak. Tidak lupa berfoto mengabadikan pemandangan luar biasa itu.
Kembali, kami melanjutkan perjalanan menuju pos terkahir di Kalimati. Melewati jalur pohon dengan rapatan yang cukup padat. Ntah ini vegetasi apa ya.. hehehe tentu cukup dingin memayungi perjanan kami.
Kami sampai di Kalimati sore hari. Lanjut mendirikan tenda dan mempersipakan perbekalan untuk makan sore dan malam.
Sementara itu, aku dan beberapa teman harus berjalan sekitar 1 Km untuk mendapatkan air di Kalimati. Yakni, di mata air Sumber Mani. Perjalanan di sana cukup memakan waktu dan naik turun di cela-cela tebing, nampak bekas sungai yang kering.
Sampai di sana, kami tak langsung mengambil air, harus mengantri dengan pedaki lain, tentunya tak hanya membawa satu atau dua botol saja. Ya jelas dong, capek banget kan kalau harus warah-wirih cuman ambil air aja.
Puncak Mahameru
Berada di Puncak Mahameru/ dok. Pribadi |
Istirahat kami lakukan hingga tengah malam. Perjalanan selanjutnya adalah pendakian ke Punak Mahameru. Perjalanan di mulai pukul 12.30 WIB. Suhu udara semakin dingin dengan jalur pendakian semakin tinggi.
Hanya pasir yang kami lewati, pepohonan semakin menipis saat kami mendekati puncak. Gelap namun cukup ramai, sorotan cahaya dan sayup suara terdengar dari para pendaki lainnya.
"Awas batu," suara seorang pendaki memperingkatkan pendaki di bawahnya.
Medan yang menanjak membuat kakiku semakin pelan berjalan. Tentu perjalanan semakin lama. Matahari mulai terbit, tapi tak kunjung sampai di puncak. "Owh, capeknya," gumamku dalam hati.
Aku hampir sampai di ujung puncak, namun kakiku tak bisa berkompromi. Aku sudah tak ingin melanjutkan perjalananku sampai ke puncak.
"Istirahat aja mbak, gak papa pelan-pelan tak tungguin," kata seorang teman rombongan asal Blora-Kendal.
Baiklah, setelah mengumpulkan tenaga yang cukup banyak. Aku pun berjalan menuju puncak. Melewati cela tebing berpasir dan berbatu. Akhrinya, sampai di puncak sekitar pukul 08.00 WIB, 8 Jam perjalanan huhuhu T _ T. Ku amati sejenak, hamparan pasir bebatuan bak lapangan sepak bola. Bahagian bercampur bangga dengan pencapaian yang tak terfikirkan bisa menginjak di Puncak Mahameru.
"Yah memang beda ya bentuk puncak dari jauh dan dekat," hehehe..
Tak langsung ikut nimbrung dengan teman-teman, aku merasa mengantuk dan tidur sejenak bersandar di bebatuan.
Aku terbangun, berjalan-jalan mengitari puncak, menikmati awan di bawah Puncak Mahameru seolah dapat disentuh seperti permen rambut nenek. Di ujung puncak, nampak kebulan asap dari lontaran abu vulkanik Gunung Semeru. Sungguh pemandangan yang luar biasa mengagumkan. Tentu, lelah perjalanan dan rutinitas kerjaan hilang terhempaskan.
Cantik ya mbak fotonya haha.. Aku juga pengen muncak ke semeru. Tapi inget2 fisik sendiri, kayaknya gak kuat deh. Apalagi sekarang ada bocil, dahlah liat gambarnya aja :"
BalasHapuswaduh dikomen mbak al hehe
Hapus